Ia mendorong pantatnya ke arahku diiringi desahan dan leguhan dari mulutnya. “uugghh…, aahh…, Sshshhss…, oohh…, uugghh…”.
*******
Di hari pertamaku masuk kuliah di salah satu perguruan tinggi di
Semarang, tidak ada yang aku kenal satupun, sehingga aku seperti orang
nyasar, bingung celingak-celinguk kesana kemari.
Sewaktu sedang bingung-bingungnya tiba-tiba ada cewek yang menegurku,
“Eh, tau kelas MI1-3 nggak?”. Eeiittss…, ternyata aku juga cari kelas
itu…, lalu aku jawab, “mm…, saya juga tidak tahu, mendingan cari
sama-sama yuk”.
“Saya Gita” dia sebut namanya duluan.
“Aku Iwan”, aku sebut namaku juga, di situlah aku mulai punya teman bernama Gita.
Cewek manis ini mempunyai kulit kuning langsat, nyaris tanpa cacat,
tinggi badan kira-kira 166 cm, dengan berat 49 Kg. Tapi yang bikin aku
tidak bosan melihatnya adalah dadanya yang menantang, cukup besar untuk
ukurannya, tapi tidak terlalu besar sekali. Begitu pula dengan
pantatnya, aku paling suka jika dia memakai jeans ketat, dengan kaos
oblong warna putih. Kadang jika ia bercanda, ngomongnya
nyerempet-nyerempet porno terus, walaupun sekali-sekali saja.
Tiga bulan sudah lamanya aku dekat dengannya, jalan kemanapun selalu
bersama, walaupun dia belum resmi jadi pacarku, tetapi aku dan dia
selalu berdua kemanapun. Sampai akhirnya aku dan dia pergi jalan-jalan
ke daerah Dieng, salah satu daerah dingin di Jawa Tengah, niatnya cuma
jalan-jalan saja, tidak menginap. Entah kenapa hari ini dia mengajakku
bercanda yang berbau porno terus, dari pagi hingga siang hari.
Sampai akhirnya ia bertanya begini, “Wan, kalau kamu punya istri suka yang buah dadanya besar atau sedeng-sedeng saja?”.
Lalu aku jawab “Mm…, yang kayak apa ya?, kayaknya aku suka yang seperti punya kamu itu lho”.
“Lho emang kamu pernah liat punyaku?”, tanya dia.
Aku bilang “Gimana mau liat, orang kamunya ajah nggak pernah kasih kesempatan…, heheheh”.
Dia tanya lagi sambil bercanda, “Kalo aku kasih kesempatan gimana?”.
Aku jawab, “Yaa…, nggak aku sia-sia’in”.
“Emang berani?”, tantang Gita.
“Siapa takut…”, jawabku tidak mau kalah.
“Kalo gitu bukti’in!”, kata Gita.
“Oke…, kita cari losmen sekarang…, gimana?”, tantangku gantian.
“Siapa takut…”, jawabnya tidak mau kalah juga.
Jujur saja aku masih berfikir bahwa ini cuma bercanda saja, sampai
tiba-tiba di depan sebuah losmen, dia berkata, “Wan, disini ajah…,
kayaknya losmennya bagus tuh”.
“Deg!!”, jantungku terasa berhenti. Dengan ragu-ragu kuarahkan mobilku
masuk ke halaman losmen tersebut. Aku masih diam dan setengah tidak
percaya.
Terus dia berkata, “Kamu angkat tas-tas kita, aku yang check in…, OK?”.
Seperti babu kepada majikannya, aku ikuti kata-katanya dan mengikuti langkahnya masuk ke losmen.
Masuk ke kamar losmen langsung kita tutup dan kunci pintunya, aku masih
terdiam terus duduk di atas kasur sampai dia berkata, “OK, sekarang aku
kasih kamu kesempatan liat dadaku, tapi jangan macem-macem yaa?”.
Tiba-tiba saja Gita menarik kaosnya ke atas, dan langsung melemparkan ke
atas tempat tidur. Lalu dia terdiam sambil menatapku yang juga terdiam,
walaupun sebenarnya aku sedang terpana. Beberapa saat dia arahkan
tangan kanannya ke pundak kirinya, digesernya tali BH-nya jatuh ke
lengan. lalu gantian tangan kirinya ke pundak kanan melakukan hal yang
sama.
Lalu tangan kanannya diarahkan ke punggung, tetapi tangan kirinya masih memegangi BH bagian depannya. Oh God…, Nafasku terasa berhenti di tenggorokanku…, BH-nya telah terlepas, tetapi masih ditahan bagian depannya oleh tangan kirinya. Gita terus memandangiku. Gita menggigit bibir bagian bawahnya.
Tiba-tiba ia berkata, “Aku nggak akan lepas ini, jika kamu nggak buka pakaianmu semuanya”
Aku ragu-ragu…, tetapi nafasku sudah tidak bisa diatur lagi…, aku buka
kaosku…, aku buka jeansku…, lalu aku berhenti, tinggal celana dalam yang
aku kenakan…, gantian aku yang menantang, “Aku nggak akan buka ini,
jika kamu nggak lepas itu sekarang”
Gita diam sejenak lalu dia turunkan perlahan tangan kirinya dan akhirnya
terlihat jelas buah dadanya yang kuning langsat dan benar-benar
menantang. Belum sempat aku rampung menikmati pemandangan ini, tiba-tiba
ia melompat ke arahku dan mendorongku telentang di kasur, dengan cepat
dia mencium bibirku. Aku yang masih kaget akan serangan mendadak ini
tidak menyia-nyiakannya, kami saling berciuman, saling melumat bibir,
“uugghh…, oohh…”, hanya kata itu yang Gita keluarkan.
Tiba-tiba saja di berdiri, dalam 5 detik celana jeansnya sudah terlepas.
Kami sama-sama hanya memakai celana dalam saja, saling pandang tetapi
itu hanya berlangsung 6 detik, dengan cepat ia menarik celana dalamku
kebawah dan melepasnya. Gita tersenyum dan sedikit tertawa, aku tak tahu
dia senang melihat punyaku atau menertawai punyaku?
Akupun tidak mau kalah, kutarik perlahan-lahan celana dalamnya sedikit
demi sedikit,ternyata Gita sudah tidak sabar lalu dia tarik sendiri
celana dalamnya dan melemparnya ke belakang, belum sempat celana
dalamnya menyentuh lantai bibirnya sudah melumat bibirku, “oohh…”, kami
sekarang benar-benar telanjang bulat.
Gita mulai mencium leherku tapi itu tidak lama karena aku keburu
membalik badanku. Sekarang gantian ia yang telentang di kasur.
Pemandangan yang indah sekali tetapi kali ini aku tidak mau lama-lama
memandang, langsung aku berada diatasnya, kedua tangannya sudah kupegang
dan tahan di samping kiri-kanan kepalanya. Aku ciumi lehernya, bibir,
leher lagi. “Hhmmhh…, uugghh…, sstt”, cuma itu yang dia katakan.
Ciumanku sudah ‘bosan’ di leher. Aku mulai turun. Melihat gerakanku itu,
tiba-tiba dia mengangkat dadanya. Kesempatan ini tidak kusia-siakan.
Aku langsung ciumi buah dadanya sebelah kiri, sedang tangan kananku
mengelus-elus buah dadanya yang kanan. Kali ini tangan kirinya sudah
memegang kepalaku. “sstt…, hh…, sstt…”, mulutnya berdesis seperti ular.
Dia menarik rambutku dan kepalaku dan mengarahkan kepalaku ke buah
dadanya sebelah kanan. Dengan sekuat tenaga ia tekan kepalaku ke
dadanya. “Gigit…, gigit…, Wan…, sst”. Lalu dengan gigiku aku mulai
mengigit-gigit sedikit puting susunya, kiri-kanan, kiri-kanan selalu
bergantian dan adil. Sementara dari mulut Gita terus keluar kata,
“Teruuss…, teruuss…, yang keras…, aahh…, gigit Wan…, gghh…, sstt”.
Sementara punyaku sudah tegang keras. Kepalaku mulai turun lagi tetapi
tiba-tiba ia berteriak kecil, “Wan…, Iwan…, uugghh…, sekarang ajjaah…,
masuk’iin…, nggak usah pake mulut lagi…, masukin sekaraanng…, plizz…”.
Aku langsung di dorongnya. Sekarang ganti posisi, aku yang telentang dan
Gita berada di atasku. Selangkangannya mencari-cari posisi, walau aku
tahu pasti yang dia cari adalah punyaku. Begitu posisinya tepat, Gita
mendorongnya dengan kuat. “uugghh…”, sedang aku sedikit berteriak,
“aahh”. Punyaku sudah terbenam di dalam selangkangannya.
Gita terus menggerak-gerakan pinggulnya ke atas, ke bawah, kiri-kanan,
naik-turun segala arah gerakan ia lakukan. Matanya terpejam, bibirnya
digigit seperti menahan sesuatu, sering dari mulutnya keluar kata-kata,
“oohh…, sshhtt…, uugghh…, sshhss…, sshhiitt…, aacchh…, oouuhh…”,
nafasnya tidak lagi teratur.
Kedua tangannya meremas-remas buah dadanya sendiri, kepalanya sering
menengadah ke atas, “uugghh…, oohh…, sshhsstt”. Sedangkan aku hanya
sanggup meremas sprei di kiri dan kananku dengan kedua tanganku. Gigi
atas dan gigi bawahku sudah saling menekan, tidak ada kata-kata yang
keluar dari mulutku hanya suara nafasku saja yang terdengar.
Kali ini aku yang mengambil alih “kekuasannya” gantian kudorong tapi dia
malah tengkurap, melihat pantatnya yang putih mulus. Aku jadi tambah
bernafsu untuk segera memasukkan punyaku ke punyanya.
Aku angkat pinggulnya dan Gitapun mengangkat badannya dengan kedua
tangan dan kakinya. Sekarang posisinya seperti mau merangkak. Langsung
tanpa tunggu waktu lagi aku mencoba memasukan “adikku” ke lubang
vaginanya.
“Mmaasuukkiinn…, ceeppeett…”, Gita memohon kepadaku tapi belum sempat ia
menyelesaikan kalimatnya punyaku sudah masuk ke vaginanya. “oohh…”,
dari mulutku keluar kata tersebut.
Dengan semangat aku mulai mendorong
ke depan, menarik, mendorong, menarik terus menerus seiring dengan
gerakanku. Gerakannyapun berlawanan dengan gerakanku, setiap aku
mendorong ke depan ia mendorong pantatnya ke arahku diiringi desahan dan
leguhan dari mulutnya. “uugghh…, aahh…, Sshshhss…, oohh…, uugghh…”.
Tiba-tiba ia berteriak, “Iwaann…, sshh…, oohh”, aku merasakan sesuatu
keluar dari dalam lubang kemaluannya tapi, “oohh…, oohh…, aacchh…,
Gitt…, aakku…”. Akupun merasakan kenikmatan yang tiada bandingannya
seiring dengan keluarnya cairan dari dalam punyaku.
“oohh…, uugghh”, banyak sekali cairanku keluar.
“Terus Wan…, keluarin semuanya…”, pinta Gita.
0 comments:
Posting Komentar